MENYAPA ARUNIKA

Karena semangat perjuangan pahlawan, bukan hanya soal perang untuk menang, namun juga untuk bertahan. Baik pada zaman dulu, maupun sekarang. Semoga dari cerita singkat ini, semangat kebhinekaan yang sudah lama padam, bisa kembali berkobar hingga tumbuh bibit tunas baru yang unggul.

Karya : Eva Nur Rachmawati - PJ Sedati Scout Media

“Kebhinekaan nyaris padam,” ucapku, sembari memperhatikan layar iklan promosi sinetron, di persimpangan jalan. Terulang lagi, kebiasaanku menggigit bibir, ketika melihat sesuatu yang tidak kusuka.

Pukul 08.15, aku berjalan menuju Fakultas Adab dan Humaniora. Sejenak, aku menghela napas panjang, dan memejamkan mata, kemudian mulai tersenyum dan berjalan memasuki kelas.

“Selamat pagi,” sapaku kepada teman-teman di kelas.

Beberapa anak menyambutku dengan senyuman, beberapa lagi tengah sibuk dengan ponsel mereka. Aku duduk di kursi depan, seperti biasa. Kemudian mengeluarkan buku dan alat tulis, sembari menunggu dosen masuk ke kelas.

“Hei, aku baru membuka Instagram. Ada berita baru nih, tentang RUU Omnibus Law cipta kerja, katanya upah minimum dihapuskan,” ucap Gilang kepada beberapa anak.

“Wah, ini gawat. Apakah tidak ada woro-woro untuk demo? Pasti akan seru,” tanya Satria meninggikan suara.

“Betul itu. Jika tidak ada demo, perusahaan bisa melakukan PHK kapanpun, secara sepihak,” imbuh Gilang memperkeruh suasana kelas.

Kali ini, sebenarnya aku tidak ingin ikut campur, dalam pembahasan mereka. Tapi, telingaku terasa sedikit panas, mendengar semua omong kosong tanpa dasar itu.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku menatap Gilang.

“Ini, ada berita baru. Tentang RUU itu loh, masa kamu tidak tahu,” jawab Gilang menunjukkan layar ponselnya.

“Tidak bisakah, kamu mencari berita yang benar, itu hoax,” ucapku meninggikan suara, dan menatap mereka tajam.

“Kenapa kamu marah? Apa karena kamu, mendukung pemerintah?” tanya Satria kemudian tertawa.

“Satria, nilai Pendidikan Kewarganegaraanmu, semester lalu B- kan. Jadi, perbaiki dulu, baru kamu bebas untuk mengkritik, agar kamu tahu mana berita yang bisa dipercaya dan tidak,” kataku menggigit bibir.

“Tenanglah, berdemo itu seru. Kamu harus mencobanya. RUU ini merugikan pekerja, bagaimana bisa kita sebagai mahasiswa hanya diam saja?” tanya Gilang menyangkal dengan percaya diri.

“Biar aku beri tahu, pesangon tidak dihapuskan, kamu bisa baca pasal 156 Bab IV tentang ketenagakerjaan. Lalu, upah minimun tidak dihapuskan, kamu bisa baca di pasal 88 C dan pasal 88 D,” ucapku menghela napas, kemudian membuka buku.

            Beberapa anak kemudian menyanjungku. Bagiku, ini bukan hal yang asing lagi. Beberapa kali mendengar orang mengumpat dan membenci, hanya karena berita hoax.

***

Setelah mata kuliahku selesai, aku selalu menyempatkan diri, untuk berkunjung ke perpustakaan universitas. Mencium aroma buku, sejenak bisa menghilangkan rasa penatku.

Terlebih lagi, aku bisa bertemu dengan banyak mahasiswa, dari berbagai jurusan. Ketika aku berjalan menuju lobi perpustakaan, seseorang memanggilku.

“Arunika,” sapa orang itu.

“Hai, Bestari. Apa kamu mau masuk?” tanyaku kemudian tersenyum.

“Tentu, aku dengar. Hari ini, ada beberapa buku baru. Ayo,” ajak Bestari dengan semangat yang tertanam persis di raut wajahnya.

Memulai sesuatu sejak pagi, adalah kebiasaanku. Kebiasaan itu, membuatku menjadi gadis kutu buku, sejak aku duduk di sekolah dasar. Entah mengapa, semakin aku belajar, semakin aku ingin tahu, tentang berbagai hal.

Namaku Arunika Saraswati, teman-teman biasa memanggilku Arunika. Arti dari Arunika adalah cahaya fajar atau masa depan, dan Saraswati adalah ilmu pengetahuan. Tidak heran, jika orang tuaku memberikan nama indah ini kepadaku.

“Besok, aku ada acara volunteer. Acaranya seputar mental health, audiensnya berasal dari beberapa anak korban bullying. Apa kamu ingin ikut?” tanya Bestari kemudian tersenyum, sehingga memperlihatkan barisan gigi putihnya.

“Baiklah, aku akan ikut,” jawabku setuju, kemudian mengikutinya masuk ke dalam perpustakaan.

            Bestari adalah salah satu teman baikku. Kami selalu belajar bersama, dan bertukar ide satu sama lain. Pria itu selalu tertarik dengan isu-isu terbaru. Berulang kali ia menjadi relawan dan volunteer untuk menambah pengalamannya. Bahkan, kami ada dalam satu organisasi, yaitu Duta Damai daerah.

***

Matahari sudah berada di langit barat. Sore ini, aku berjalan seperti biasa, menuju halte bus. Ketika duduk menunggu bus, aku mendengar seseorang berkata yang tidak pantas, tentang pemimipin negara.

“Lihatlah, mungkin presiden kita, tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Lihat saja, di daerah terpencil, masih kesulitan karena tidak memiliki sarana yang memadai,” ucap gadis muda disebelahku.

“Apa yang kamu bicarakan?” tanyaku memandangnya, kemudian tersenyum.

“Ini, kasihan sekali. Di daerah ini, tidak ada akses sarana, yang memadai,” jawab gadis itu dengan nada marah.

“Tapi, yang aku tahu, Presiden kita bahkan sudah memulai proyek untuk wilayah yang kesulitan dalam akses sarana, contohnya saja jalan Trans Papua,” jelasku berusaha tersenyum kepada gadis itu.

Aku mungkin tidak bisa mengubah rasa dengki dan marah orang lain terhadap negara ataupun pemerintah. Tapi setidaknya, sebagai warga negara sekaligus netizen yang cerdas, aku bisa memilah berita, dan mengambil sisi positif itu.

Saat berada di dalam bus, aku duduk dan membuka jendela kaca. Terasa angin sepoi-sepoi membuatku terasa relaks. Ketika bus berhenti dan menerima penumpang baru, aku melihat seorang ibu berdiri, menggendong anaknya sambil membawa barang belanjaan, karena tidak mendapatkan tempat duduk.

“Permisi, silahkan duduk,” ucapku kepada ibu itu.

“Terima kasih, Nak,” balas ibu itu, kemudian tersenyum.

Aku berpegangan pada tren pegangan bus, ini cukup untuk membuatku lebih bersemangat. Namun, sesuatu terus menerus membuat telingaku kembali terasa panas.

“Lihatlah wanita ini. Ia rela berdiri untuk ibu itu. Sok sekali dia, padahal ibu itu hanya orang kampung,” bisik salah seorang pemuda di belakangku.

“Hei, apa kamu tidak bisa diam? Ucapanmu terlalu keras,” tanyaku meninggikan suara, membuat beberapa orang memperhatikan kami.

“Apa yang kamu bicarakan? Kamu terlalu sok, untuk jadi pahlawan di sore hari,” balasnya tidak mau mengalah.

“Pahlawan, aku bukan pahlawan. Setidaknya, aku tidak membicarakan orang dari belakang. Memangnya kenapa, jika aku memberi tempat duduk untuk ibu itu? Apa kalian membayar ongkosku?” tanyaku menatap mereka.

“Orang kampung, memang tidak tahu malu,” jawab salah satu pemuda, dengan tatapan kesal.

“Kalianlah yang tidak tahu malu. Memang kenapa jika kami orang kampung, bahkan 75% dari 240 juta penduduk di Indonesia, lahir dan dibesarkan di kampung. Mereka bahkan banyak yang menjadi orang hebat. Kalian tahu kenapa? Karena mereka, diajarkan sopan santun, tidak seperti kalian,” kataku tersenyum sinis, kemudian keluar dari bus, tepat di halte dekat rumah.

***

“Hai, Bestari,” sapaku melambaikan tangan.

“Wah, ternyata kamu datang. Ayo,” ajak Bestari menarik tanganku.

Pukul 09.15, aku berada di pendopo kota untuk melakukan sosialisasi, bersama dengan volunteer mental health. Tujuan sosialisasi ini, adalah memberikan pendekatan dan konsultasi, untuk mereka yang trauma, atau memiliki masalah karena faktor bullying.

“Arunika, ini adalah pasien pertama mu,” ucap Bestari mengantarkan seorang gadis, dan menyuruhnya duduk di depanku.

“Oke, terima kasih,” balasku tersenyum kepada Bestari.

            Aku memiliki cara sendiri, untuk berusaha memahami mereka. Aku tidak ingin, membuat mereka mengingat kejadian, yang telah mereka lewati. Hanya saja, perlu keberanian ekstra untuk bangkit dari gangguan mental itu.

“Bagaimana cara menggunakan alat ini?” tanyaku berpura-pura bingung memainkan rubik.

“Aku, tahu caranya, kak,” jawab anak itu, berusaha tersenyum.

            Selagi pasienku terlihat asik memainkan rubik. Aku berusaha untuk menanyakan hal teringan, agar ia tidak merasa tertekan. Selain itu, sebisa mungkin, aku tidak memberikan ekspresi sedih atau iba, saat mendengarkannya.

“Siapa namamu?” tanyaku tersenyum memandang wajahnya yang elok.

“Aku, Rara. Kakak mau mendengar ceritaku?” tanya Rara tiba-tiba berhenti memaninkan rubik.

“Nanti, kamu bisa Berce….” Tidak sempat melanjutkan ucapanku, Rara kemudian menceritakan, tentang dirinya.

“Mereka menganggapku sampah. Sejak 2 tahun yang lalu, tidak seorang pun terus tersenyum saat bersamaku, seperti kakak. Mereka terus menuduhku, bahkan tanpa mendengar penjelasanku,” ucap Rara meneteskan air mata, dengan tangan gemetar.

“Lanjutkan,” pintaku memegang tangan Rara.

“Apa itu kesalahanku? Terlahir dengan kulit gelap. Apa itu kesalahan orang tuaku jika aku tidak cantik? Dan apa itu kesalahanku, saat mereka pergi menjauh dan malah mengejekku? Setiap hari mereka bahkan tidak berbicara kepadaku. Mereka terus melempariku dengan gulungan kertas. Bahkan, di media sosial, tidak sedikit yang mencelaku,” jelas Rara kemudian menangis.

“Rara berarti manis dan baik, itu arti namamu. Mulai sekarang, apa kamu bisa menjadi orang, seperti arti namamu?” tanyaku tersenyum kepadanya.

“Bagaimana kak?” tanya Rara memandangiku.

“Kamu hanya perlu menerima. Kamu bisa mewujudkan mimpimu dan keluar dari lingkaran merah ini. Aku yakin, kamu akan meraih masa depan brilian,” ucapku tersenyum lebar, kepada Rara.

            Setelah selesai mengajak Rara berkonsultasi, teman Bestari kemudian menjemputnya dan memberinya semangat baru. Aku yang berusaha menahan air mata, kini bisa menangis dengan lega.

***

            Suasana universitas, kini terasa begitu kondusif. Berjalan di lorong fakultas, membuatku menjadi bersemangat. Melihat teman-teman, yang kini bijak sebagai netizen, membuatku senang dan mendukung mereka.

            Thousand friends zero enemy, mungkin bisa menjadi prinsip cerdas bagi netizen di Indonesia. Terlebih lagi, meruwat kebhinekaan bukan perkara yang mudah, namun setidaknya bisa dimulai dari diri sendiri.

            Menghagai setiap perbedaan, memilah informasi yang terpercaya dan menghindari psycho war melalui media sosial, bisa menjadikan kita warga negara yang lebih bijaksana. Bagaimana dengan kamu?


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRAMUKA GARDA TERDEPAN, TAK SELAMANYA PAHLAWAN HARUSLAH PENJAJAH YANG HARUS BERPERANG MENGALAHKAN PENJAJAH, MELAINKAN ADA AYAH YANG MENJADI PAHLAWAH KEHIDUPAN HINGGA AKHIR HAYATNYA.

BERITA PELAJAR

SEDATI SCOUT MEDIA (SSM)